Jumat, 21 Juni 2013

BBM Menyiksa, BLSM Menghina

APBN-P 2013 sudah disetujui DPR RI. Itu artinya ada jalan lapang bagi pemerintah pusat menaikkan harga BBM, khususnya bensin dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500. Termasuk meluncurkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150 ribu per rumah tangga sasaran (RTS) per bulan untuk 15,5 juta RTS dalam 4 bulan ke depan tahun 2013 ini (Juni, Juli, Agustus, September). Menurut saya, kenaikan harga BBM kali sangat menyiksa rakyat. BLSM pun menghina rakyat yang melarat.
Bahasa rakyatnya adalah karena Pemerintah menaikan harga BBM, maka rakyat miskin harus ditolong untuk empat bulan. BLSM empat bulan adalah sama artinya dengan waktu yang cukup untuk menyumbat emosi kemarahan rakyat. Rakyat tak akan paham tentang perhitungan kaum ekonom kapitalis-borjuis tentang APBN, BBM dan BLSM. Rakyat hanya tahu menerima saja apa yang diberikan kepada mereka. Para pejabat pemerintah, politikus, ekonom, dan pengamat yang berkoar-koar di media massa mendukung kenaikkan harga BBM dan BLSM adalah orang-orang borjuis yang munafik.
Mengapa? Karena mereka tak pernah merasakan bagaimana susahnya rakyat memperolah uang Rp 6.500 untuk satu liter bensin. Begitu juga mereka tak pernah merasakan bagaimana rasanya membagi uang Rp 150 ribu untuk hidup sebulan. Jadi kaum borjuis yang mendukung kenaikkan harga BBM dan BLSM adalah orang-orang yang benar-benar tak cerdas. Betapa susahnya rakyat melarat untuk membeli seliter bensin Rp 6.500. Dan betapa idiotnya pemerintah pusat dan DPR RI yang menganggap rakyat bisa tertolong dengan harga Rp 150 ribu.
Jadi menurut saya, kenaikkan BBM kali adalah benar-benar menyiksa rakyat miskin. Begitu juga dengan BLSM juga adalah kebijakan yang menghina rakyat miskin, sekaligus menghina negara Indonesia di mata dunia internasional. Saya yakin dunia internasional akan sinis dengan kebijakan BLSM ini.
Lebih jauh, mengapa APBN 2013 kita jebol? Lantas pemerintah pusat harus menaikkan harga BBM. APBN kita jebol karena korupsi gila-gilaan yang dilakaukan oleh para pejabat pemerintah dan DPR baik di pusat maupun di daerah. Korupsi inilah yang menyebabkan APBN kita hancur. APBN hancur bukan oleh rakyat. Ironisnya rakyat yang dijadikan sasaran terburuk dengan beban naiknya harga BBM yang mahal untuk menutup APBN bolong yang dicuri oleh kaum koruptor.
Selain itu, karena pejabat pemerintah dan DPR Indonesia terlalu banyak korupsi, sehingga negara Indonesia tak mampu bayar bunga utang luar negerinya. Lalu solusinya adalah dengan menaikkan harga BBM. Lagi-lagi rakyat disiksa pada siang bolong, karena harus bayar utang luar melalui tingginya harga BBM. Uang rakyat dalam APBN lebih besar jumlahnya yang dikorupsi oleh para pejabat pemerintah dan politikus baik di pusat maupun di daerah. Logikanya, jika uang pajak dan retribusi rakyat yang dikorupsi oleh para pejabat dan politikus tersebut dikembalikan kepada APBN, maka harga BBM tidak perlu naik dan BLSM pun bukan sekadar munafik sok murah hati kepada rakyat hanya seharga Rp 150 ribu.
Parpol-parpol yang mendukung kenaikan BBM dan BLSM adalah Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKB. Parpol-parpol inilah menyiksa rakyat miskin di negeri ini. Sedangkan parpol-parpol yang menolak kenaikan harga BBM dan BLSM adalah PDI-Perjuangan, Gerindra, Hanura dan PKS. Parpal-parpol inilah yang rasa kemanusiaan dan hati nuraninya masih waras terhadap amanat penderitaan rakyat di negeri ini. Sebaiknya dalam Pileg dan Pilpres 2014, rakyat tak perlu lagi mendukung parpol-parpol yang mendukung kenaikkan harga BBM dan BSLM tersebut di atas (yaitu: Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKB).
Singkat kata, kenaikkan BBM kali ini adalah sangat menyengsarakan rakyat kita yang miskin. Begitu juga dengan BLSM adalah sangat menghina rakyat miskin dan sekaligus menurunkan harga diri negara Indonesia di mata dunia internasional. Betapa pemerintah pusat hanya mampu membantu rakyat miskin sebesar Rp 150 ribu per bulan selama empat bulan. Ironisnya, korupsi terus meningkat dan merajarela setiap hari. Tapi anehnya Pemerintah Pusat dan DPR RI tidak malu kepada rakyatnya sendiri. Dan tidak salah, jika ada rakyat yang tidak mau mengambil BLSM tersebut yang memang hanya sekadar bisa membeli balsem gosok masuk angin belaka!
Akhirnya, saya berpendapat sebaiknya soal BSLM diserahkan saja kepada gubernur, atau bupati/wali kota dan DPRD di Indonesia: melaksanakan atau tidak? Kita hidup pada era politik desentralisasi, dan bukan pada era sentralisasi seperti pada era Orde Baru. Para kepala daerah dan DPRD yang tahun persis tentang kondisi daerah dan warganya sendiri-sendiri sehingga tak perlu dipaksakan dari pemerintah pusat yang hanya tahu tentang kondisi daerah dan penduduk Jakarta saja.