Kamis, 04 Juni 2020

Polisi temukan 'dokumen ISIS' di Kalimantan Selatan

Polisi menemukan yang diyakini sebagai dokumen ISIS dari pelaku penyerangan Polsek Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, yang menyebabkan seorang anggota polisi meninggal dan sebuah mobil polisi terbakar.

Kepolisian Kalimantan Selatan menyebutkan, mereka menemukan "sejumlah barang dan dokumen organisasi teroris ISIS" dari tas pinggang pelaku penyerangan.

Kabid Humas Polda Kalsel, Mochamad Rifa'i, mengatakan "barang dan dokumen yang ditemukan berupa syal dan kartu tanda ISIS serta selembar surat wasiat bertulis tangan serta sebuah Alquran kecil".

"Memang benar ada dokumen ISIS. Sekarang masih kita dalami sejauh mana keterlibatan pelaku dengan kelompok itu," kata Rifa'i di Banjarmasin

Sejauh ini, Rifa'i belum bisa memastikan motif pelaku dipicu aksi jihad seperti yang biasa dilakukan kelompok teroris. Sejumlah media menyebutkan pelaku berinsial AR menggunakan samurai untuk menyerang polisi bernama Leonardo Latupapua yang saat itu sedang piket malam. Leonardo kemudian meninggal di lokasi kejadian.

Sebelum melakukan serangan dengan senjata tajam, pelaku yang berusia 19 tahun ini dilaporkan membakar mobil patroli polisi yang terparkir di depan Mapolsek Daha Selatan. Pelaku terus menerus melakukan penyerangan, hingga akhirnya dia tewas ditembak polisi.Jenazahnya dievakuasi ke RSUD Hasan Basry Kandangan, Kalsel.

Polisi mengaku telah mengumpulkan barang bukti dari pelaku seperti satu unit sepeda motor, jerigen bahan bakar dengan isi bensin, sebilah samurai dan dokumen ISIS.

Di tengah ketidakpastian terkait repatriasi WNI eks ISIS, muncul kekhawatiran bahwa pemulangan mereka akan membawa 'virus terorisme' baru ke Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Menkopolhukam Mahfud MD dan diamini mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas. "Kita tahu mereka itu, mau WNI atau WNA, semua berbahaya. Nah, sekarang kalau kita tidak berhati-hati dalam menghadapi 'virus' ini, akan sangat berbahaya. Jangan dianggap enteng," ujar Nasir.

Di sisi lain, sejumlah pakar terorisme mengatakan hal sebaliknya, seperti Sidney Jones yang mengatakan risiko meninggalkan mereka di kamp-kamp lebih besar daripada memulangkan. Dengan mendata para WNI di sana, pemerintah dapat mengetahui kantong-kantong terorisme di Indonesia. Hal itu, ujarnya, bisa membantu pemerintah 'mengalahkan gerakan terorisme'. "Tanpa memahami mereka, kita tidak tahu kantong-kantong mereka. Mereka nggak muncul tiba-tiba. Mereka produk dari sebuah kelompok masyarakat tertentu," ujarnya. "Ini kesempatan emas untuk once for all beat this movement," ujar Noor.

Pemerintah akan melakukan rapat terbatas untuk memutuskan apakah WNI eks-ISIS akan dipulangkan atau tidak. Sebelumnya, Mahfud MD mengatakan, pemerintah mungkin akan mendapatkan keputusan di bulan Mei atau Juni.

Noor Huda tidak memungkiri akan ada potensi penyebaran virus terorisme baru melalui kepulangan mereka. "Mereka balik akan membawa virus baru, itu pasti," ujarnya.

Ia merujuk pada kejadian di tahun 1980-an, di mana sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi Darul Islam (DI) dan pecahannya pergi ke Afghanistan. Sebelumnya, kata Noor, mereka adalah 'pemain lokal' yang menyerang polisi dan menentang Pancasila. "Tapi ketika mereka ke Afghanistan, dan kemudian bermetamorfosa menjadi Al-Qaida, yang diserang kepentingan barat dan keahlian mereka jadi lebih OK," ujarnya.

Saat ini, mereka tersebar di belasan penjara di Indonesia, dan menurut Noor, BNPT memiliki keterbatasan dalam melakukan penilaian dan pengawasan terhadap mereka. Belum lagi, kata Noor, banyak penjara di Indonesia yang melebihi kapasitasnya. "Secara kemampuan lokal, kita masih ngos-ngosan, apalagi di tambah 600 (eks ISIS) itu."

Hal ini, ujar Noor, harus dipertimbangkan pemerintah sebelum memutuskan apakah mereka akan mengembalikan para WNI itu.

Menurut Noor, yang harus jadi prioritas pemulangan adalah korban, yakni anak-anak. "Kalau perempuan belum tentu mereka korban. Tapi anak, kalau anaknya umurnya setahun, misalnya, dan ibunya dipisahkan, ini psikologisnya gimana? Ini memang permasalahan super kompleks," kata Noor.

"Kalau pilih-pilih begitu (siapa WNI yang akan direpatriasi), Rojava (tempat sejumlah WNI eks ISIS bernaung), juga nggak mau. Enak aja cherry-picking," ujarnya.

Sementara itu, ia sepakat dengan pengamat teroris Sidney Jones bahwa anak-anak yang ditinggalkan di Suriah dan besar di sana bisa jadi radikal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di masa depan.

Hal itu, katanya terlihat dari gerakan terorisme di Indonesia sekarang. "Ini bisnis yang belum selesai, dari kakek-kakek mereka di Darul Islam, yang bermetamorfosis menjadi Jemaah Islamiyah, lalu Jamaah Ansharut Daulah (JAD). "Rata-rata generasi kedua dan ketiga yang meneruskan 'perjuangan'," ujarnya.

Di sisi lain, pengamat terorisme, yang juga mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas, mengatakan baik anak-anak maupun orang dewasa telah terpapar radikalisme ketika mereka pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Keadaan anak-anak di sana, kata Nasir, tidak bisa dibandingkan dengan anak-anak di Indonesia. "Di sini saja (Indonesia) sudah ada penyebaran paham dari tingkat dasar. Apa lagi di sana?" ujarnya.

Direktur Pencegahan BNPT, Brigadir Jenderal (Pol) Hamli mengatakan pemerintah belum memutuskan apakah mereka akan memprioritaskan pengembalian anak-anak. "Koordinasi antar lembaga yang diperlukan. Indentifikasi harus jelas berapa anak-anak, orang tua, perempuan, dan laki-laki," katanya.

Menurut Nasir, jika pemerintah memutuskan mengembalikan para WNI, proses deradikalisasi harusnya dilakukan di tempat pengungsian, sebelum mereka tiba di Indonesia. "Deradikalisasi sebaiknya tidak dibatasi di Indonesia. Sebaiknya, apapun kegiatannya, assesment, workshop, atau pencerahan, sebaiknya dilakukan di tempat pengungsian mereka," kata Nasir. "Baru kita dapat bedakan yang murni bertobat, insaf, minta maaf ke pemerintah dan siapa yang masih keras. Sebaiknya tidak bisa dipukul rata," ujarnya.

Sementara, menurut peneliti Noor Huda, pemerintah harus mengkaji dengan jelas WNI eks ISIS yang ada beserta paham mereka. "Yang penting assessment harus jelas, mana yang harus di bawa ke Densus, mana yang harus dibawa ke BNPT, atau ke (rehabilitasi) di Kementerian Sosial," ujarnya.

Ia mengatakan proses kajian ini akan memakan waktu yang lama. "Kita ingin tahu persis mana yang 'kucing', mana yang 'macan'? Mereka juga harus dikaji ideologinya seperti apa," ujar Noor. Pemerintah, kata Noor, juga harus mempertimbangkan tempat para eks ISIS akan ditampung juga dampak sosial dari kepulangan mereka.

Sebelumnya di tahun 2017, belasan WNI yang pergi ke Suriah karena ingin bergabung dengan ISIS dideportasi ke Indonesia. Direktur Pencegahan BNPT, Brigadir Jenderal (Pol) Hamli mengatakan proses deradikalisasi terhadap mereka masih berjalan.

Hal itu akan menjadi bahan masukan untuk memutuskan apakah ratusan WNI yang masih ada di Suriah sekarang akan dipulangkan. Sementara, mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas, meragukan efektivitas program deradikalisasi itu. "(Orang-orang yang kembali ke Indonesia) itu masih ada yang 'keras'. Kita nggak punya mekanisme memaksa mereka ikut program deradikalisasi. Mereka bisa menolak ikut," ujarnya.

"Kalau (program deradikalisasi) berhasil, kenapa WNI tidak terus dibawa ke sini?" Sementara, Hamli melihat sejauh ini program deradikalisasi berjalan cukup baik. "Alhamdulillah, kami melihat perkembangannya."