Sabtu, 18 November 2023

Keragaman Hayati Papua yang Hilang Ditemukan Kembali

 Spesies mamalia berduri yang telah menghilang selama 62 tahun dan dikhawatirkan sudah punah, ditemukan masih hidup di Pegunungan Cycloop, Papua, bersama dengan ratusan spesies baru lainnya.

Para peneliti dalam Ekspedisi Cycloop di Pegunungan Cycloop, Papua, berhasil menemukan ekidna Zaglossus attenboroughi, atau ekidna moncong panjang Sir David Attenborough.

Ini adalah pertama kalinya ekidna dengan nama latin Zaglossus attenboroughi difoto dalam keadaan hidup.

Spesies ini terakhir dilihat pada tahun 1961, dan selama ini dikhawatirkan telah punah.

Pemusnahan hutan yang sangat cepat akan merugikan manusia itu sendiri tetapi kepentingan jangka pendek membuat banyak orang tidak peduli dengan hutan dan kelestarian bumi ini

Selama 62 tahun terakhir, keberadaan spesies ini hanya dibuktikan dari satu spesimen yang sudah diawetkan dan kini tersimpan di Naturalis Biodiversity Centre di Leiden, Belanda.


Spesimen itu ditemukan di dekat puncak Gunung Rara, Pegunungan Cycloop oleh ahli botani Belanda, Pieter van Royen, pada 1961.

"Mendapatkan bukti bahwa spesies ini masih hidup itu bagaikan menemukan satu cabang dari pohon kehidupan yang mempunyai sejarah evolusi sangat panjang," kata Dr James Kempton, ilmuwan dari Universitas Oxford di Inggris yang memimpin ekspedisi yang berlangsung pada bulan Juni-Juli 2023.

Zaglossus attenboroughi adalah hewan yang punya duri di tubuhnya seperti landak, berjalan dengan empat kaki dan bermoncong lurus panjang, serta hidup di hutan terpencil Pegunungan Cycloop. .Warga Desa Yongsu Spari di kaki gunung mengenal hewan ini sebagai payangko.

Satu-satunya spesimen payangko ditemukan oleh ahli botani Belanda pada 1961, dan baru diberi nama pada 1998.

Selain menemukan payangko yang telah lama hilang, ekspedisi ini juga menemukan ratusan spesies yang diyakini merupakan spesies yang baru dalam sains. Pegunungan Cycloop terletak di barat ibu kota Provinsi Papua, Jayapura.

Pegunungan ini membentang dari barat ke timur Provinsi Papua dan menjadi pembatas antara Danau Sentani dan Samudra Pasifik. Warga setempat menyebut puncak tertingginya dengan beragam nama, mulai dari Dobonsolo, Dafonsoro, hingga Robhong Holo.

"Saya sendiri baru tahu ada banyak spesies langka di hutan ini, saya merasa bersyukur, artinya hutan ini masih terjaga," kata Zacharias Sorondanya, warga Desa Yongsu Spari di kaki Pegunungan Cycloop, yang memandu perjalanan para peneliti.

.Hanya ada lima spesies mamalia yang bertelur (monotremes) di dunia, dan salah satunya adalah Zaglossus attenboroughi. Spesies ini dikategorikan sangat terancam punah dalam daftar merah IUCN.

Ekidna ini dinamakan Zaglossus attenboroughi pada tahun 1998 untuk menghormati naturalis Inggris sekaligus penyiar BBC, Sir David Attenborough, "yang telah berkontribusi besar dalam membuat masyarakat menghargai flora dan fauna di Pulau Papua".


Payangko ditemukan setelah peneliti memasang 80 kamera di Pegunungan Cycloop. Salah satu kamera merekam video dan foto Zaglossus attenboroughi pada 22 Juli 2023 pukul 20.08 waktu Indonesia timur. Demi kelestarian payangko, lokasi tempat penemuannya dirahasiakan.

Tidak banyak yang diketahui dari spesies ini, karena mereka belum pernah diteliti dalam keadaan hidup. "Ini adalah bukti ilmiah pertama bahwa Zaglossus attenboroughi masih hidup, dan foto pertama binatang ini," kata James Kempton kepada BBC News Indonesia.

Namun, sudah ada penelitian tentang tiga jenis ekidna lainnya, salah satunya adalah Zaglossus bartoni atau ekidna moncong panjang dari timur. Spesies ini hidup di dalam liang di tempat dengan ketinggian antara 600-3.200 meter di atas permukaan laut, hanya dapat ditemukan di hutan terpencil dan aktif di malam hari.

"Itulah sebabnya kami membutuhkan kamera untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam hutan, sebab manusia menimbulkan banyak suara dan gerakan, dan bisa menakuti para satwa," kata James.

Dia menjelaskan bahwa Zaglossus attenboroughi yang terlihat di kamera sudah sesuai dengan deskripsi ciri-ciri binatang ini. Moncongnya lebih lurus, dan lebih pendek dibanding spesies ekidna lain. Struktur tubuhnya juga sesuai dengan spesimen yang tersimpan di museum.

Spesies ini adalah yang terkecil di antara ekidna yang lain, dan individu yang nampak diperkirakan panjangnya sekitar 70-80 cm.

"Penemuan ini berarti bahwa populasi spesies ini terjaga sejak terakhir terlihat di 1961, jadi ini adalah kabar baik. Saya menduga populasinya masih ada lebih banyak lagi, meskipun tidak terlalu banyak karena mereka hanya hidup di pegunungan ini," kata James.

Sebelumnya, pencarian binatang ini sudah kerap kali dilakukan, misalnya, oleh ekspedisi tahun 2007, tapi tanpa membuahkan hasil. Kali ini, peneliti menjelajahi sisi hutan yang sangat jarang dirambah manusia.

"Ketika pertama kali tiba di area sekitar puncak, saya merasa seperti berada di sebuah tempat yang spiritual. Kami membuka jalan ke sana dengan dikelilingi kabut, dan hutan sangat sunyi," kata James.

Sebagian daerah yang diteliti adalah kawasan hutan adat milik beberapa suku yang tinggal di kaki gunung. Beberapa kawasan, adalah tempat suci yang biasanya tidak boleh dimasuki orang asing.

"Kami diberi izin khusus oleh warga karena riset kami bertujuan baik, kami bertujuan mempelajari binatang dan bukan berburu, tidak ingin menebang pohon, sehingga kami diizinkan naik ke atas gunung," kata James.

Warga percaya bahwa penjaga hutan akan menjaga mereka yang bertujuan baik, dan menghukum mereka yang berniat buruk.

"Masukan dari komunitas lokal sangat penting dalam upaya riset dan konservasi, karena kami adalah tamu di rumah mereka. Kami belajar banyak dari warga kampung yang sangat terbuka dan menerima kami," kata Dr Leonidas Romanos-Davranoglou, entimologis atau pakar serangga dari Universitas Oxford yang juga turut serta dalam penelitian.

"Udang langit" yang banyak ditemukan di sekitar puncak, ukuran terbesarnya 1 centimeter.


Penemuan spesies baru: Udang yang hidup di tanah gunung

Selain menemukan payangko yang telah lama hilang, ekspedisi ini juga menemukan ratusan spesies baru yang belum tercatat oleh sains.

"Kami memperkirakan bahwa kami menemukan ratusan spesies baru, dan bahkan satu genus baru," kata pakar serangga dari Universitas Oxford, Dr Leonidas Romanos-Davranoglou.

Leonidas menyebutnya perkiraan, karena penemuan sebuah spesies membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk disahkan secara resmi oleh komunitas sains. Hasil penelitian yang dilakukan ini disebutnya akan menyibukkan para ilmuwan selama bertahun-tahun.

"Rasanya seperti tak percaya, kami berada di atas gunung tinggi, di hutan tropis di atas 2.000 meter, lalu ketika mengamati di batu, di antara daun-daun di tanah, kami malah menemukan ada udang. Kami menyebutnya 'udang langit'," kata Leonidas.

Kelembapan tanah menjadi tempat hidup udang-udang ini, yang punya kantong di badan untuk tempat tumbuh anak-anak mereka.

Dr Leonidas Romanos-Davranoglou mengamati tonggeret yang mati akibat infeksi jamur di kepala.

Spesies baru lainnya antara lain jangkrik gua yang buta, laba-laba, kalajengking, katak, dan kumbang pendaur ulang.

"Ada satu serangga yang kami sebut 'serangga pembunuh', predator kecil yang punya sejenis jarum di mulutnya untuk memasukkan racun ke tubuh serangga lainnya dan menyedot darah mereka. Seperti vampir," kata Leonidas.

Ada juga sejenis kecoa pedaur ulang yang menurut Leonidas "berwujud cukup manis, tidak seperti kecoa". Serangga ini mendaur ulang kayu yang jatuh di tanah dengan cara memakannya dan membuat terowongan kecil di dalam kayu. Menariknya, kecoa ini bersama-sama membesarkan anak mereka yang sangat tergantung pada orangtuanya.

"Serangga ini menarik bukan hanya karena dia adalah spesies baru, yang punya tugas penting di ekosistem, tapi juga menarik melihat bahwa serangga memiliki sistem kemasyarakatan yang kompleks seperti ini."

Salah satu spesies baru yang ditemukan: katak kecil dari genus Choerophryne yang hidup di antara daun-daun yang jatuh di tanah.

Banyak dari spesies baru ditemukan saat mereka meneliti sebuah bagian dari ekosistem yang menurutnya hampir tidak pernah diperhatikan oleh orang lain, yaitu permukaan hutan dan tanah di bawahnya. Ini adalah tempat di mana daun-daun jatuh menumpuk selama bertahun-tahun, tempat terjadinya daur ulang yang menyuburkan hutan.

Peneliti mengambil contoh tanah dan menemukan berbagai binatang yang ternyata hidup di sana. Karena hidup di tanah, hewan-hewan ini bagaikan hidup di dalam gua.

"Mereka tidak banyak berpindah tempat, sehingga tingkat endemismenya sangat tinggi," kata Leonidas. Artinya, ini adalah hewan-hewan yang hanya ada di satu lokasi tertentu dan tidak ada di tempat lainnya.

Selanjutnya, para peneliti ingin memahami lebih jauh mengenai sejarah evolusi hewan-hewan di Pegunungan Cycloop ini dengan lebih mendalam. Mereka menduga bahwa Pegunungan ini dulunya adalah kepulauan vulkanis di Laut Pasifik yang kemudian menyatu dengan daratan utama Papua.

Hipotesis ini belum dibuktikan kebenarannya, dan diharapkan dapat dibuktikan salah satunya dengan bantuan uji DNA dari hewan-hewan yang ada di gunung.

"Dengan mempelajari DNA mereka, kita bisa melihat asal muasal dan pola migrasinya. Apakah mereka terkait dengan hewan dari Papua dan Australia, atau pengaruh dari Asia Tenggara?" kata Leonidas.

Dengan mengetahui asal muasal hewan-hewan kecil tersebut, para peneliti berharap bisa memahami bagaimana dan kapan hutan terbentuk, serta membuktikan teori-teori geologi:, apakah Pulau Papua terdiri atas beberapa pulau berbeda yang tadinya terisolasi, kemudian menyatu menjadi satu entitas.

"Jadi, saya tidak hanya meneliti serangga atau binatang-binatangnya saja, tapi juga habitat dan bahkan geologi pulaunya," kata Leonidas.

James mengatakan bahwa riset kali ini masih sangat awal dan baru menguak sedikit dari banyak hal yang masih belum diketahui.

"Papua sangat luas, dan sangat sedikit ekspedisi ilmiah dilakukan di sini, jadi saya pikir masih ada kekayaan luar biasa dalam keanekaragaman hayati, misteri besar yang masih belum diketahui oleh ilmuwan," kata James.


Menjelajahi hutan

Para peneliti menghabiskan sekitar 17 hari menjelajah dan berkemah di hutan dalam usaha mereka menemukan payangko, sekaligus melakukan penelitian terhadap fauna di Pegunungan Cycloop. Di antara penjelajahan hutan, mereka tinggal di rumah warga di Desa Yongsu Spari, Distrik Raveni Rara, Kabupaten Jayapura.

"Hutannya sangat lebat, kami mengikuti jalur-jalur kecil yang dibuat oleh hewan seperti kanguru, kasuari dan bandicoot. Kami juga seringkali harus menebas pepohonan agar bisa lewat," kata dia.

Mereka dibantu oleh tim yang terdiri dari mahasiswa Universitas Cendrawasih, dan warga Kampung Yongsu Spari yang memandu para peneliti di hutan, sebab mereka sangat mengenal hutan itu. Warga juga membantu para peneliti membawa barang dan membantu penyediaan logistik.

"Kami memulai hari di hutan sekitar pukul 6.30 pagi dengan sarapan Indomie dan nasi putih, sampai kami bosan setelah 17 hari makan itu-itu saja," kata James mengenang perjalanannya di hutan.

Setelah itu, mereka menjelajahi hutan untuk melakukan penelitian, serta memasang 80 kamera yang akan otomatis mengambil gambar jika ada makhluk hidup yang melintas dalam radius tertentu.

Entomologis atau ahli serangga mengambil sampel lantai hutan dan memasang jebakan untuk menangkap serangga-serangga yang tinggal di dalam tanah maupun terbang rendah di atasnya.

Mereka juga menggunakan jaring untuk menangkap serangga yang hinggap di daun, dan perangkap bercahaya untuk menangkap serangga yang beraktivitas di malam hari.

Pada malam hari, peneliti mencari sampel reptil dan amfibi, dipimpin oleh warga yang sehari-hari berburu di hutan tersebut. "Jadi, satu hari dimulai pukul 6.30 dan kami baru istirahat selepas tengah malam," kata dia.

"Semua ini dilakukan di Cycloop yang berhutan lebat dan terjal. Jadi, sangat sulit dan menguras tenaga," kata James.

Peneliti diterjang hujan, beberapa kali terjatuh, menabrak pepohonan, dan harus berhadapan dengan nyamuk dan berjumpa ular berbisa. Kaki mereka luka akibat berjalan jauh, dan beberapa anggota ekspedisi harus berjuang melepaskan lintah yang menempel di mata.

Di kedalaman hutan, mereka juga menjumpai gua yang belum terdokumentasi, dan nampak tidak terusik oleh aktivitas manusia.

"Saya dan tim berhasil masuk ke dalam gua, meskipun sangat sempit dan cukup menyeramkan, kalau saya boleh jujur," kata Leonidas.

Meski demikian, dia tidak menjelajah lebih dalam lagi karena tidak mempunyai perlengkapan yang memadai untuk menjelajah gua.


Masa depan pelestarian

James menjelaskan bahwa setelah payangko terbukti masih ada, penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebarannya di gunung, di ketinggian berapa spesies ini hidup, seberapa banyak payangko yang masih tersisa, bagaimana sifatnya, caranya berkembang biak dan habitatnya. Dan yang terpenting: bagaimana status konservasinya?

Salah satu potensi ancaman bagi spesies ini adalah perburuan. "Membuat orang-orang menyadari betapa istimewanya mahkluk ini, betapa langka, dan betapa rapuhnya keberadaaannya di gunung ini mungkin adalah langkah penting untuk melindungi mereka," kata James.

Katak dari genis Xenorhina endemik Pulau Papua yang hidup di lumpur dan dedaunan yang jatuh.

Riset yang dilakukan bekerjasama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua, Universitas Cenderawasih, dan Yayasan Pelayanan Papua Nenda (YAPPENDA) ini juga bertujuan untuk memberikan pelatihan tentang keberagaman fauna dan cara melestarikannya kepada mahasiswa Papua.

"Kami melatih para mahasiswa Papua yang akan menjadi generasi penerus ilmuwan dan pelestari alam yang akan berupaya untuk melestarikan alam Papua yang luar biasa ini," kata James.

Dia berharap, para mahasiswa yang turut serta dalam perjalanan ini bisa mempelajari berbagai teknik yang diajarkan agar kelak bisa melakukan penelitian sendiri demi masa depan pelestarian alam Papua.

"Praktik sangat penting, karena teori dan pelaksanaan di alam adalah dua hal yang sangat berbeda," kata dia.

"Papua sangat istimewa, dan termasuk salah satu tempat di dunia yang memiliki kawasan hutan yang masih tak tersentuh. Saya berharap kita masih punya kesempatan untuk melindungi keragaman hayati tanah ini, karena masa depan manusia tergantung pada lingkungannya," kata James.

Sebagian warga di kaki gunung merasa terkejut dengan banyaknya spesies langka yang ditemukan di hutan. Sebagian dari mereka telah mengenal hewan-hewan yang menurut peneliti adalah spesies yang belum tercatat secara ilmiah.

"Penelitian ini menjadi masukan untuk kami, saya berharap masyarakat bisa bersama-sama menjaga binatang-binatang yang langka ini supaya tidak musnah, begitu," kata Zacharias Sorondanya.