Berkembangnya isu SARA yang dipicu kasus pembunuhan seorang perempuan Dayak di Kutai Barat, Kalimantan Timur, pada awal Februari lalu, menunjukkan bahwa tahap resolusi pascakonflik berupa perdamaian berkelanjutan atau "sustainable peace" belum tercapai.
Akademisi bidang damai dan resolusi konflik menilai masih ada prasangka antaretnis sejak konflik Sampit pada 2001 yang menewaskan ratusan korban jiwa.
Padahal, pada saat kasus pembunuhan itu terungkap, polisi langsung menangkap pelaku dan bergerak cepat bersama kejaksaan untuk segera membawa kasus itu ke meja persidangan serta menutup akun-akun provokasi di media sosial.
Lembaga Adat Besar Kutai Barat berserta tokoh masyarakat juga bertindak cepat dengan melaksanakan sidang adat yang menjatuhi denda adat kepada tersangka sebesar hampir Rp 1,9 miliar guna meredam munculnya konflik. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Daerah Kutai Barat juga turun tangan dengan merangkul masyarakat.
Pada awal Februari 2021, kenangan luka kekerasan antara etnis Dayak dan Madura kembali muncul di Kalimantan, tepatnya di Kutai Barat.
Isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) mencuat kembali - menyebar di sosial media dan beberapa kelompok masyarakat akibat kasus pembunuhan seorang perempuan Dayak yang diduga dilakukan seorang pria Madura.
Polisi pun bergerak cepat dengan menangkap terduga pelaku pada hari yang sama.
"Pelaku dikenakan pasal 340 KUHP tentang pembunuh berencana dengan ancaman hukuman mati. Perkembangan kasus sudah tahap I hari Rabu kemarin [pekan lalu],"kata Kapolres Kutai Barat AKBP Irwan Yuli Prasetyo kepada wartawan Lamanele di Samarinda, Kalimantan Timur yang melaporkan kepada BBC News Indonesia.
Bagaimana antisipasi agar isu SARA tidak berkembang?
Polisi juga langsung berkordinasi dengan tokoh forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda) dan tokoh-tokoh adat karena kasus itu mulai berkembang ke isu SARA.
"Banyak berkembang isu liar di medsos. Upaya-upaya kita selain rangkul tokoh, kemudian memantau akun provokatif di medsos wilayah Kubar. Yang kita kenal kita minta di-delete akun-akun provokatif, banyak yang tidak dapat peristiwa utuh mengenai peristiwa ini," tambah Irwan.
Kemudian, ujar Irwan, cara lain yang dilakukan adalah mengadakan sidang adat Dayak.
Hasilnya, pelaku diwajibkan membayar denda adat sebesar 4.120 antang atau guci dan biaya upacara kematian dengan total denda Rp1,89 miliar yang harus dibayar dalam waktu enam bulan.
"Jika dalam waktu enam bulan tidak direalisasikan maka Lembaga adat akan membicarakan lagi. Jadi, penegasan, tidak ada pengusiran. Ini kasus kriminal yang menjadi ke SARA, saya pesan jangan dibuat berlebihan," kata Kepala Lembaga Adat Besar Kutai Barat, Manar Dimansyah.
Sanksi diberikan, kata Manar, untuk meredam kemarahan masyarakat agar tidak terulang kembali konflik kelam di masa lalu.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur juga langsung turun tangan, kata Sekretaris Daerah Pemprov Kaltim, Muhammad Sabani.
"Agar tidak melebar ke isu SARA. Melalui forkopimda di Kubar. Masing-masing dapat arahan, termasuk gubernur Kaltim memberi arahan kepada bupati supaya bisa ditenangkan suasananya," ujarnya.
Sabani pun meminta masyarakat untuk tenang dan menjaga situasi keamanan serta menyerahkan kasus kriminal tersebut ke aparat penegak hukum.
"Masyarakat jangan panik, jangan terprovokasi hoaks," ujarnya.
Bagaimana reaksi keluarga korban?
Sementara itu, keluarga korban pembunuhan mengatakan sangat terpukul dengan kasus pembunuhan kerabat mereka.
"Kami berharap penegakan hukum harus maksimal sesuai Pasal 430 KUHP, supaya nanti tidak terjadi kekecewaan masyarakat. Kalau hukuman ringan nanti terjadi kekecewaan dan balas membalas," kata paman korban, Yulianus Henock.
Lalu mengenai sanksi denda adat, Yulianus menambahkan "sanksi guci itu dasarnya untuk mendinginkan situasi. Setiap kampung, 190 kampung akan mendapat sumbangsih pembagian supaya menjaga warganya tetap tenang dan tidak terulang lagi kejadian ini di kampung mereka".
"Tidak ada kebencian, dendam dan menggiring ke SARA. Denda itu hanya separuh dari tuntutan yang dikabulkan, majelis adat sudah bertindak sangat adil," ujarnya.
Bagaimana jika denda tidak bisa dipenuhi?
"Nanti akan bertemu dengan lembaga adat dan mungkin kalau tidak bisa maka mereka dengan sukarela meninggalkan Kutai Barat karena kami khawatir akan terjadi penghakiman dari masyarakat yang tidak puas," kata Yulianus.
"Saya dari keluarga sudah memaafkan, kami meminta warga Madura silakan pulang dan beraktivitas seperti biasa, tapi harus hormati budaya kami," kata Yulianus yang juga Wakil Ketua Umum Persekutuan Dayak Kalimantan Timur itu.
Apa tanggapan paguyuban Madura?
Ketua Paguyuban Madura Kalimantan Timur, Zaini Naim, memohon maaf atas tindakan yang dilakukan etnisnya dan menegaskan perbuat pelaku adalah tindakan perorangan sehingga jangan dikaitkan dengan suku Madura secara luas.
"Dayak adalah saudara kami. Saya memohon maaf kepada saudara saya, suku Dayak. Dan kepada suku Madura, banyak sudah pelajaran berharga sebelumnya yang terjadi di Kalimantan. Mestinya itu jadi pelajaran bagi suku Madura. Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung," kata Zaini yang juga Ketua MUI Kota Samarinda,
Lalu mengenai denda adat, Zaini meminta agar hukum positif nasional yang lebih dahulu diutamakan.
"Karena akan sulit kalau suatu adat dipaksakan kepada suku lain, Indonesia ini beraneka ragam jadi suku dan agama apa saja harus tegak dengan peraturan," tambahnya.
Zaini pun berharap agar pemerintah melakukan upaya konkrit perdamaian guna mencegah sebuah kasus perorangan dapat berujung pada isu SARA.
Andre Ding, warga Dayak di Kalimantan Timur beranggapan, kasus pembunuhan tersebut merupakan perkara kriminal murni, tidak ada kaitannya dengan etnis Dayak maupun Madura.
"Tapi di masyarakat, kita di sana (kampung) saat tahu kejadian itu, pasti tanya, dia (pelaku) dari mana, itu paling rentan dibahas. Rata-rata warga kami di sana begitu.
Di saat bersamaan muncul dugaan pasti ada unsur ini, unsur itu dan lainnya. Maka berkembanglah seperti ini dan giring opini masyarakat," kata Andre.
Senada dengan itu, warga Madura di Kalimantan, Muhammad Jui, mempertanyakan mengapa suku Madura harus bertanggung jawab atas kasus kriminal yang dilakukan perorangan.
"Untuk itu, kami mohon kepada pemerintah meluruskan hal itu supaya tidak mudah terpancing.
Lalu apa kata Jui terkait sanksi adat,"kami pun menghormati, memaklumi, memahami denda adat tersebut, namun kalau bisa paling tidak jumlah besar itu minta pertimbangan ulang. Kami menghargai adat. Pemerintah dan aparat mohon mediasinya supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan," ujar Jui.
"Jadi situasi pascakonflik Sampit 2001 sampai sekarang itu masih terjadi kecurigaan antar dua etnis yang berkonflik, masih ada prasangka yang mengembalikan memori masyarakat ke konflik masa lalu, di samping pengaruh faktor lain seperti peran sosial media," kata Frisca.
Prasangka, tambah Frisca, menyebabkan toleransi menurun sehingga kasus kriminal murni dapat dengan mudah bergeser ke isu SARA.
Lantas, mengapa prasangka itu masih terus ada?
Menurut Frisca karena pemerintah hanya berfokus pada penyelesaian konflik di wilayah Sampit dan Kalimantan Tengah saja dengan asumsi wilayah lain di Kalimantan aman.
"Tapi nyatanya di wilayah lain tetap timbul prasangka, ketakutan antara pihak. Kasus di Kubar [Kutai Barat] merupakan pelajaran berharga pentingnya meningkatkan toleransi secara holistik di seluruh Kalimantan," ujarnya.
Untuk saat ini melihat yang terjadi di Kutai Barat, menurut Frisca, pemerintah dan tokoh masyarakat harus menurunkan eskalasi dengan menenangkan masyarakat kemudian melakukan dialog dan proses perdamaian yang berkelanjutan.
"Apakah kemudian orang Dayak nanti bisa meredam ego mereka dan legowo 'ya sudah kita selesaikannya pakai hukum Indonesia, tidak usah pakai hukum adat'. Saya percaya itu bisa dicapai tapi yang penting dulu adalah bagaimana kita mendeskalasikan konfliknya," tutup Frisca.